Ramadhan dan Paradoks Kebijakan Penanganan Covid 19 di Indonesia
Ramadhan
dan Paradoks Kebijakan Penanganan Covid 19 di Indonesia
Oleh:
Muhammad Andi Purbaya
(Bidang
Partisipasi Pembangunan Daerah HmI Cabang Bandung 2021-2022)
Genap setahun sudah covid 19 merusak tatanan kehidupan, masyarakat ditarik secara paksa masuk dalam pusaran badai kecemasan akan keberlangsungan hidup. Bagaimana tidak, covid 19 yang sebelumnya diremehkan telah merenggut jutaan nyawa manusia di seluruh dunia. Bahkan baru-baru ini, India yang merupakan salah satu Negara dengan produsen vaksin tertinggi, menjadi neraka. Pemerintah sangat kewalahan menghadapi badai pandemic covid 19. Setiap hari korban covid 19 berjatuhan, rumah sakit dan kamar mayat kewalahan, obat-obatan dan oksigen dalam kondisi yang sangat terbatas. Mayat-mayat bergelimpangan di India, dan lahan parkir menjadi tempat kremasi. berdasarkan CNBC Indonesia (30/04/2021), di India, ada 386 ribu kasus harian baru dengan 3.498 kematian dan Selama sepekan berturut-turut angka kasus baru India per hari, selalu bertambah di angka 300 ribu hingga 350 ribu lebih.
Sementara di
Indonesia, kasus covid 19 terus melonjak naik, bahkan Indonesia tercatat menjadi salah satu negara yang mengalami
kenaikan kasus Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara yaitu 19 persen. Berdasarkan
kompas, (10/05/2021), tercatat ada 4.891 kasus baru, sehingga mencapai 1.718.575 kasus dan yang meninggal bertambah
206, hingga total kasus kematian menjadi 47.218
Jumlah kasus yang begitu tinggi, lahirnya indikasi angka tersebut akan mengalami peningkatan drastis menghadapi momentum I’dul Fitri. menghadapi hal tersebut, pemerintahan
Indonesia mengambil langkah antisipasi dengan membuat regulasi khusus di bulan
ramadhan ini, yaitu dengan membuat regulasi pelarangan mudik yang bertujuan
untuk mencegah penyebaran covid 19. Regulasi pelarangan mudik ini, tertuang
dalam addendum Surat Edaran Satuan Tugas
Penanganan (Satgas) Covid-19 Nomor 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari
Raya Idulfitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19
Selama Bulan Suci Ramadan 1442 Hijriah. Selain itu, pemerintah Indonesia juga
memperketat syarat bepergian atau pengetatan sebelum dan sesudah larangan mudik
Lebaran 2021 dengan mengeluarkan Addendum Surat Edaran Satuan Tugas (SE Satgas)
Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021.
Namun disisi lain, dalam
situasi pandemik yang terus meningkat, pemerintah membiarkan
destinasi-destinasi wisata lokal agar tetap dibuka. Menteri Pariwisata dan
kreatif, Sandiaga Uno, di dalam Weekly Press Briefing, yang diselanggarakan
pada senin (12/04/2021), mengatakan bahwa dengan adanya pelarangan mudik, bisa
meningkatkan kunjungan ke wisata lokal.
Selain itu, Menteri Keuangan,
Sri Mulyani, saat menggelar konferensi pers APBN kita secara virtual, mengimbau
masyarakat agar berbelanja baju baru dan bingkisan Lebaran untuk menggerakkan
ekonomi. Langkah ini untuk mendorong konsumsi rumah tangga, sehingga mampu
mendongkrak ekonomi pada kuartal kedua 2021.
Dalam rangkain kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah di atas, sangat terlihat paradoks dalam
menaggulangi pandemic covid 19. Satu sisi membuat kebijakan yang membatasi
aktivitas, namun sisi lain memberikan ruang untuk melakukan aktivitas yang
mengundang kerumunan dan terjadinya penularan covid 19 secara masal.
Dibukanya tempat wisata dan
pusat-pusat perbelanjaan dalam momentum tahunan seperti ramadhan dan libur
I’dul fitri, kerumuman akan sangat meningkat jika dibandingkan dengan hari
normal sebelumnya. Mengingat budaya belanja baju baru dan wisata telah menjadi
budaya yang mendarah daging. Buktinya, dalam momentum ramadhan, di Tanah Abang,
tembus 100.000 orang, Jumlah itu meningkat dari total pengunjung sehari sebelumnya,
pada Sabtu, 1 Mei 2021, sebanyak 87.000 pengunjung. Kompas (03/05/2021)
Walaupun penerapan protokol
kesehatan terus digaungkan oleh pemerintah dan menekankan untuk tetap
mematuhinya, tidak ada jaminan untuk mampu meminimalisir penyebarluasan covid 19
di tengah kerumunan yang dilakukan oleh masyarakat. Sebaliknya angka
covid 19 terus mengalami peningkatan. Ini menjadi indikasi bahwa menjalankan
protokol kesehatan, belum mampu secara maksimal dijalankan oleh masyarakat
secara luas, masih banyak masyarakat yang melalikan protokol kesehatan yang
dianjurkan oleh pemerintah.
Tak hanya itu, pengambilan
kebijkan yang dilakukan oleh pemerintah lebih berfokus pada ekonomi, bukan pada
kesehatan dan keselamatan rakyat. Padahal jika dilihat, kesehatan merupakan aspek
utama dalam kehidupan. Prof. Sumaaatmadja
Nursid, dalam bukunya yang berjudul, Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan
Lingkungan Hidup, mengatakan bahwa kesehatan menjadi modal dasar dalam melangsungkan kehidupan.
keterampilan, daya, rasionalitas, emosional, relasional dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apabila kesehatan masyarakat terganggu,
proses ekonomi yang dicita-citakan tidak akan berjalan dengan baik. Sebaliknya
sektor ekonomi akan berjalan otomatis apabilan faktor kesehatan dan keselamatan
manusia benar-benar dengan baik ditangani oleh Negara.
Maka dari itu, dengan
mempertimbangkan kondisi masyarakat Indonesia, hal yang lebih diutamakan yaitu
melalui pembatasan sosial dan tetap mematuhi protokol kesehatan. Hal-hal yang
mengundang terjadinya keramaian dalam momentum-momentum tertentu seperti
menghadapi I’dul fitri atau pasca I’dul fitri, lebih baik ditutup untuk
meminimalir dampak covid 19. Kita harus belajar dari India, pemerintah yang
lebih berfokus pada aspek ekonomi, membuat Negara tersebut kewalahan dan
layaknya manusia yang terkepung dalam kobaran api, yang menunggu waktu untuk
habis terbakar. Ekonomi pun lesuh tak berdaya.
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan para pembaca. Tak ada gading yang tak retak, begitu pun dalam tulisan ini, yang masih jauh dalam kesempurnaan untuk mengisi nalar haus intelektual pembaca.
Komentar
Posting Komentar