Indonesia Dalam Bahaya Covid 19, Krisis Pangan, dan Ancaman Konflik Sektoral
Indonesia Dalam Bahaya Covid 19, Krisis Pangan, dan
Ancaman Konflik Sektoral
Oleh: Muhammad Andi
Purbaya
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki adanya
Kau lebih suka membangun rumah, merampas tanah
Kau lebih suka membangun jalan raya, membangun
pagar besi … (Lirik Bunga dan Tembok: Fajar Merah)
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
Pada beberapa bulan terkahir ini, dunia
dihadapkan pada sebuah ancaman dari makhluk tak kasat mata, yang disebut dengan
Corona Virus (Covid 19). Virus ganas yang tiba-tiba hadir dan telah membunuh
ribuan manusia di berbagai belahan bumi ini. Dari kasus covid 19 berdasarkan
data BBC Indonesia, pada tanggal 1 mei, jumlah kasus secara global sudah
mencapai 3,2 juta orang lebih pasien dan lebih dari 230.000 orang yang telah
meninggal dunia. Dan di Indonesia, jumlah kasus covid 19 mencapai 10.551
pasien, 1.591 sembuh, dan 800 meninggal dunia.1
Dari data angka penyebaran dan kematian di atas
yang begitu signifikan, virus yang sebelumnya dianggap remeh oleh mayoritas
masyarakat global ini, telah membawa ketakutan yang luar biasa bagi berbagai negara untuk kemudian memberlakukan
Social Distancing dan Lockdown sebagai upaya keluar dari
gelombang maut covid 19 yang terus menghantui. Kota-kota yang sebelumnya
terlihat padat oleh aktivitas manusia, tiba-tiba hanya meninggalkan pemandangan
bangunan dan jalan-jalan kosong semata, layaknya kota mati tanpa tanda-tanda
peradaban. Akibatnya, ekonomi yang mejadi penopang hidup pun terganggu dan
negara-negara belahan dunia ditarik secara paksa masuk berada dalam
bayang-bayang resesi ekonomi global, sebagaimana yang dilansir oleh Dana
Moneter International (IMF), pandemic covid 19 bisa sampai mengakibatkan resesi
global 2020 yang lebih buruk dari krisis keuangan global pada tahun 2008.2
Negara-negara anggota G-20 seperti AS, Italia, Spanyol, Perancis, China, hingga
Singapura yang menyumbang 80 % PDB (Produk Domestik Bruto) Global pun luluh
lantak mengalami guncangan ekonomi yang begitu kuat akibat covid 19 ini.3
Tak berhenti disana, dampak dari covid 19 selain
mengakibatkan kematian dan krisis ekonomi, namun hal yang paling penting adalah
mengancam terjadinya krisis pangan global akibat pemberlakuan Lockdown oleh
berbagai negara. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah memperingatkan
kepada dunia akan potensi kelangkaan dan darurat pangan di tengah pandemic
Corona Virus (Covid-19). Sebab, kebijakan penguncian (lockdown)
di sejumlah negara yang membuat distribusi pangan internasional menjadi
terganggu.4 Dan inilah yang benar-benar sedang dialami oleh
Indonesia.
Di Indonesia, ketersediaan pangan sudah menjadi
masalah utama pada tahun-tahun sebelumnya, dan sekarang ditambah implikasi
serius dari pemberlakuan Lockdown yang makin memperburuk ketersediaan
pangan nasional dan berada dalam jurang kekhawatiran (defisit). Menurut laporan
yang diterima oleh Jokowi, sederet bahan pangan masih defisit di beberapa
provinsi. Contohnya stok beras di 7 provinsi defisit. Lalu stok jagung terjadi
defisit di 11 provinsi, stok cabai besar defisit di 23 provinsi, stok cabai
rawit defisit di 19 provinsi, stok bawang merah diperkirakan juga defisit di
satu provinsi dan stok telur ayam defisit di 22 provinsi.5
Berdasarkan data diatas, lantas menimbulkan
pertanyaan, Indonesia yang merupakan negeri agraris yang semestinya kaya akan
produksi pangan, khususnya beras, mengapa harus impor dan mengalami defisit?
yang nanti akan berdampak pada kelangkahan barang dan kenaikan harga? Ada apa?
untuk membahasnya lebih jauh, saya ingin mengajak para pembaca untuk membuka
kantung pemikiran sejenak dalam melihat terlebih dahulu realitas krisis pangan
dunia dan akibatnya hari ini, serta pentingnya ketersediaan dan kedaultan
pangan bagi Indonesia, sehingga bisa dijadikan referensi dalam menentukan
langkah-langkah strategis kedepannya.
Krisis Pangan Dunia, Kemiskinan, dan Konflik
Sektoral
Sejarah dan pengalaman panjang serta berbagai
fakta telah menunjukan bahwa gelombang krisis pangan dan bahaya kelaparan
senantiasa membayangi masyarakat dunia dari waktu ke waktu. Ledakan jumlah
penduduk semakin memicu meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat dunia.
Problematika kegagalan produksi pangan akibat perubahan iklim global dan masih
relative rendahnya komitmen pemerintah dalam investasi, produksi, dan
distribusi menjadi kendala dalam memenuhi kebutuhan pangan. Lebih dari itu,
lemahnya pengembangan kapasitas pelaku produksi pangan telah menyebabkan
kestabilan jaminan atas ketersediaan pangan bagi masyarakat
Terkait krisis pangan dunia, Food and Agriculture
Organization (FAO) mencatat bahwa jumlah kasus kekurangan pangan dan kelaparan
sepanjang tahun 2009 paling tinggi sejak tahun 1970-an. Situasi untuk
tahun-tahun selanjutnya tampaknya tidak jauh berubah. Diperkirkan setidaknya
1,02 miliar jiwa dan seluruh dunia mengalami kekurangan pangan dan kelaparan.
Beberapa kali diselanggarakannya perhelatan The
World Summit on Food Security atas prakarsa FAO yang berupaya mencari
solusi krisis pangan dunia, belum banyak kemajuan nyata yang dicapai. Masih
sulit untuk merumuskan kesepakatan dan komitmen kuat bagi bantuan
internasional, baik negara-negara maju maupun lembaga internasional untuk
menanggulangi krisis pangan dunia.6
Menurut UN Population Fund (2000)
memprediksi pada tahun 2050 nanti, akan ada tambahan sekitar 2,32 milyar jiwa
yang tersebar di seluruh duia yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya di bawah
tekanan ancaman perubahan iklim yang semakin berat. Jumlah ini akan terus
meningka dari tahun ke tahun. Sementara lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan
yang ada bukan bertambah melainkan terus berkurang karena terjadinya alih
fungsi lahan yang menjadi infrastruktur perumahan, industry. Jalan, dan
lainnya.7
Gentingnya krisis pangan dunia ini telah banyak
disuarakan oleh berbagai tokoh dunia. maka pada awal bulan April 2008 dalam
Spring Meeting IMF-World Bank, Robert Zoellick sebagai Kepala Bank Dunia,
memperingatkan bahwa sekitar 100 juta orang yang saat ini sudah miskin akan
menjadi bertambah miskin karena melonjaknya harga pangan dunia. Atas dasar
peringatan Zoellick ini, Bank Dunia, melalui steering committeenya yang terdiri
dari para menteri keuangan dan pembangunan dunia, telah meluncurkan suatu
program mengatasi krisis “New Deal” untuk mendorong peningkatan produksi
pertanian dalam jangka panjang. Selain itu, Kepala IMF, Dominique Strauss Kahn,
memperingatkan bahwa nanti dunia akan dilanda kelaparan masal jika harga pangan
terus meningkat. Kahn juga menunjukan pada pengalaman historis masa lalu,
ketika setiap krisis pangan telah mengakibatkan terjadinya pertikaian sosial dan
bahkan peperangan. Keprihatinan Kahn didasari atas petimbangan bahwa sekitar 60
% dari belanja rumah tangga penduduk pendapatan rendah terdiri dari pengeluaran
untuk pangan. Kepala IMF ini melanjutkan bahwa krisis pangan juga akan
berakibat pada terjadinya kesenjangan perdagangan antar-negara yang tidak hanya
terbatas pada negara-negara yang sedang dalam proses pembangunan, tetapi juga
akan mempengaruhi negara-negara yang telah maju. Bahkan Perdana Menteri
Inggris, Gordon Brown, telah menyelenggarakan pertemuan para pakar dalam bidang
pangan untuk menyarankan cara-cara alternatif untuk mengatasi terjadinya krisis
pangan. Gordon Brown mengatakan bahwa Inggris akan menyediakan tambahan dana
bantuan sebesar USD 900 juta dolar dan menyatakan bahwa Inggris akan meninjau
kembali kebijakan penggunaan pangan untuk menghasilkan bio-fuel.8
Brown melanjutkan bahwa kenaikan harga pangan ini telah mengancam kesejahteraan
dunia dan bahwa krisis pangan ini akan mementahkan hasil-hasil yang selama ini
telah dicapai oleh usaha untuk mengurangi tingkat kemiskinan penduduk dunia.
Pada pertemuan tahunan ADB di Madrid hari Minggu tanggal 4 Mei, 2008, Menteri
Keuangan Jepang, Fukushiro Nukaga mengatakan bahwa melonjaknya harga pangan
akan menciptakan kerusuhan sosial di antara penduduk miskin dunia.9
Ada beberapa hal yang pernah terjadi ketika dunia
dilanda oleh krisis pangan, pada tahun 2008 misalnya, bagaimana krisis pangan
telah memantik terjadinya kekerasan di Pantai Gading, 24 orang mati dalam
huru-hara di Kamerun dan jatuhnya pemerintah Haiti. Krisis pangan di 2011
menciptakan revolusi politik di tanah Jazirah Arab. Rezim Ben Ali di Tunisia,
Husni Mubarak di Mesir, dan Qadhafi di Libya. Negara-negara tersebut jatuh
karena menggantungkan 90 % kebutuhan pangan mereka pada negara importir.10
Sedangkan untuk konteks Indonesia sendiri, sebagai salah satu dari 7 negara penyumbang kelaparan
terbanyak di dunia telah dikategorikan ke dalam kategori serius dalam Global
Hunger Index. Tentu saja angka kelaparan yang tinggi tersebut juga
disebabkan oleh tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Biro Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 2011 mencatat angka kemiskinan di Indonesia mencapai lebih
dari 31 juta orang. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat pada tahun 2012
akibat krisis keuangan dunia. Tingginya angka kemiskinan berbanding lurus
dengan potensi orang kelaparan karena seseorang menderita kelaparan tentu
disebabkan karena faktor kemiskinan.11 Minimnya ketersediaan pangan
dan tingginya angka kemiskinan, ini akan membuat kelaparan yang berimplikasi
pada konflik sektoral. Karena deficit akan berakibat pada kelangkahan barang
dan meningkatnya harga, yang kemudian membuat masyarakat miskin sulit untuk
menggapai barang tersebut.
Krisis Pangan Di Indonesia
Bonus sumber daya alam merupakan julukan yang
pantas bagi Indonesia, setidaknya dalam
hal pertanian dan pangan. Negeri ini memiliki darat yng cukup luas (1.919.443
km2), dan lautan (3.257.357 km2). Negeri ini juga dikaruniai iklim tropis
karena dilalui garis khatulistiwa sehingga memiliki dua musim, kemarau dan
penghujan. Matahari menyinari selama 12 jam sehari yang memungkinkan flora dan
fauna dpat tumbuh dengan baik. Suhu sekiatar 26,3 sampai 32 derajat celcius.
Dalam rentang suhu seperti ini memungkinkan padi, kopi, jagung tebu, kelapa
coklat, karet, dan kina dapat tumbuh dengan baik. Beberapa wilayah memiliki
curah hujan yang rendah, sangat cocok untuk pengembangan usaha ternak (sapi,
kambing, domba, ayam dll). Iklim tropis membuat tanah menjadi subur sehingga
dapat dimanfaatkan untuk menanam hehijauan dan umbi-umbian yang diperlukan
untuk bahan pakan ternak. Iklim tropis juga cocok untuk budidaya hortikultura
atau tanaman kebun, yang mencakup tanaman buah (frukultura), bunga
(florikultura), sayuran (olerikultura), dan obat-obatan (biofarmaka).
Dengan potensi alam yang begitu melimpah ruah di
tanah ini, semestinya Indonesia mengalami surplus pangan, dan bisa menjadi stok
pangan dunia (feed the world). Sebaliknya, seiring makin meningkatnya populasi
masyarakat di Indonesia, beras yang ‘masih’ menjadi lumbung utama konsumsi
negeri ini karena mempunyai karbohidrat yang tinggi dan dapat bertahan lama
dibandingkan dengan yang lain, dari tahun ke tahun produksinya mengalami
penurunan. Disamping berbagai faktor yang mempengaruhi produksi padi di
Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat Luas Panen, Produksi, dan
Produktivitas padi Indonesia dalam 2 tahun terakhir mengalami penurunan. Luas
panen Indonesia dari 11,3 juta menjadi 10,6 juta, dan produksi 52 H turun
menjadi 51 H. Sedangkan untuk produksi padi dari 59,2 Ton turun menjadi 54,6
Ton. Jika produksi padi dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan
penduduk, produksi padi pada 2018 setara dengan 33,94 juta ton beras. Sementara
itu, produksi pada 2019 sebesar 31,31 juta ton beras, atau mengalami penurunan
sebesar 2,63 juta ton (7,75 persen) dibandingkan dengan produksi tahun 2018.
Alternative untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan menjaga kelangkahan
barang yang berdampak pada kenaikan harga, Indonesia mengambil kebijakan impor.12
Adapun negara-negara importir beras untuk Indonesia adalah Thailand, Vietnam, Tiongkok, India, Pakistan,
dll.
Volume impor beras Indonesia periode Januari-November 2018
seberat 2,2 juta ton melonjak dibanding periode Januari-Desember 2017 yang
hanya mencapai 305,75 ribu ton. Demikian pula nilai impor beras dalam 11 bulan
pertama tahun lalu meningkat menjadi US$ 1,02 miliar dibanding sepanjang 2017
yang hanya sebesar US$ 143,65 juta.13 Masih berdasarkan data dari BPS, Badan
Pusat Statistik mencatat, impor beras Indonesia dari Negeri Gajah Putih
Thailand periode Januari-Oktober 2018 mencapai 780 ribu ton dengan nilai US$
377,75 juta.14
Tabel
Impor Beras Menurut Negara Asal Utama Pada 5 Tahun Terakhir
|
|||||
Sumber:
BPS
|
|||||
Negara Asal
|
2015
|
2016
|
2017
|
2018
|
2019
|
Vietnam
|
509
374.2
|
535
577.0
|
16 599.9
|
767
180.9
|
33
133.1
|
Thailand
|
126
745.7
|
557
890.0
|
108
944.8
|
795
600.1
|
53
278.0
|
Tiongkok1
|
479.9
|
1 271.9
|
2 419.0
|
227.7
|
24.3
|
India
|
34
167.5
|
36
142.0
|
32
209.7
|
337
999.0
|
7 973.3
|
Pakistan
|
180
099.5
|
134
832.5
|
87
500.0
|
310
990.1
|
182 564.9
|
Amerika Serikat
|
0.0
|
0.0
|
0.0
|
0.0
|
740.9
|
Taiwan
|
|||||
Singapura
|
|||||
Myanmar
|
8 775.0
|
16
650.0
|
57
475.0
|
41
820.0
|
166
700.6
|
Lainnya
|
1 959.2
|
815.1
|
126.2
|
6.7
|
93.7
|
Jumlah
|
861. 601,0
|
1. 283.178,5
|
305. 274,6
|
2. 253. 824,5
|
444. 508,8
|
Indonesia yang telah memiliki undang-undang (UU)
tentang Pangan, yaitu UU No. 7 tahun 1996 dan direvisi menjadi UU No.18 tahun
2012, yang mengarahkan Indonesia untuk mengurangi impor pangan nasional atau
meningkatkan kemandirian dan kedaulatan pangan, tetapi faktanya hingga saat ini
misi dalam UU tersebut, sulit terwujudkan. UU Agraria 1960 untuk menjamin
kedaulatan dan kesejahteraan petani untuk mengelola lahan pertanian, malah
tidak ditegakan. Yang terjadi, petani semakin lemah dan malah sering terjadinya
konflik lahan dengan masyarakat (termasuk kasus-kasus konversi lahan sawah atau
alih fungsi lahan) menjadi perumahan, industri, tol, bandara, dan lain
sebagainya. Pada tahun 2018, luas wilayah panen di Indonesia dari 11, 3 Juta
Ha, berubah menjadi 10, 6 Juta Ha.
Provinsi
|
Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Menurut Provinsi
|
|||||
Luas Panen (ha)
|
Produktivitas (ku/ha)
|
Produksi (ton)
|
||||
2018
|
2019
|
2018
|
2019
|
2018
|
2019
|
|
ACEH
|
329515.78
|
310012.46
|
56.49
|
55.3
|
1861567.1
|
1714437.6
|
SUMATERA
UTARA
|
408176.45
|
413141.24
|
51.65
|
50.32
|
2108284.72
|
2078901.59
|
SUMATERA
BARAT
|
313050.82
|
311671.23
|
47.37
|
47.58
|
1483076.48
|
1482996.01
|
RIAU
|
71448.08
|
63142.04
|
37.28
|
36.56
|
266375.53
|
230873.97
|
JAMBI
|
86202.68
|
69536.06
|
44.44
|
44.57
|
383045.74
|
309932.68
|
SUMATERA
SELATAN
|
581574.61
|
539316.52
|
51.48
|
48.27
|
2994191.84
|
2603396.24
|
BENGKULU
|
65891.16
|
64406.86
|
43.83
|
46.03
|
288810.52
|
296472.07
|
LAMPUNG
|
511940.93
|
464103.42
|
48.61
|
46.63
|
2488641.91
|
2164089.33
|
KEP.
BANGKA BELITUNG
|
17233.59
|
17087.81
|
26.53
|
28.56
|
45724.69
|
48805.68
|
KEP. RIAU
|
375.87
|
356.27
|
29.19
|
32.3
|
1097
|
1150.8
|
DKI
JAKARTA
|
673.37
|
622.59
|
72.76
|
53.96
|
4899.14
|
3359.31
|
JAWA
BARAT
|
1707253.81
|
1578835.7
|
56.51
|
57.54
|
9647358.75
|
9084957.22
|
JAWA
TENGAH
|
1821983.17
|
1678479.21
|
57.63
|
57.53
|
10499588.23
|
9655653.98
|
DI
YOGYAKARTA
|
93956.45
|
111477.36
|
54.81
|
47.86
|
514935.49
|
533477.4
|
JAWA
TIMUR
|
1751191.67
|
1702426.36
|
58.26
|
56.28
|
10203213.17
|
9580933.88
|
BANTEN
|
344836.06
|
303731.8
|
48.94
|
48.41
|
1687783.3
|
1470503.35
|
BALI
|
110978.37
|
95319.34
|
60.11
|
60.78
|
667069.06
|
579320.53
|
NUSA
TENGGARA BARAT
|
289242.59
|
281666.04
|
50.49
|
49.78
|
1460338.81
|
1402182.39
|
NUSA
TENGGARA TIMUR
|
218232.91
|
198867.41
|
41.24
|
40.82
|
899935.88
|
811724.18
|
KALIMANTAN
BARAT
|
286476.03
|
290048.44
|
27.92
|
29.23
|
799715.21
|
847875.13
|
KALIMANTAN
TENGAH
|
147571.69
|
146144.51
|
34.88
|
30.35
|
514769.05
|
443561.33
|
KALIMANTAN
SELATAN
|
323091.21
|
356245.95
|
41.09
|
37.69
|
1327492.41
|
1342861.82
|
KALIMANTAN
TIMUR
|
64961.16
|
69707.75
|
40.45
|
36.41
|
262773.88
|
253818.37
|
KALIMANTAN
UTARA
|
13707
|
10294.7
|
32.88
|
32.4
|
45063.53
|
33357.19
|
SULAWESI
UTARA
|
70352.62
|
62020.39
|
46.47
|
44.79
|
326929.74
|
277776.31
|
SULAWESI
TENGAH
|
201279.24
|
186100.44
|
46.05
|
45.4
|
926978.66
|
844904.3
|
SULAWESI
SELATAN
|
1185484.1
|
1010188.75
|
50.21
|
50.03
|
5952616.45
|
5054166.96
|
SULAWESI
TENGGARA
|
136673.75
|
132343.86
|
39.43
|
39.27
|
538876.14
|
519706.93
|
GORONTALO
|
56631.64
|
49009.95
|
47.6
|
47.18
|
269540.4
|
231211.11
|
SULAWESI
BARAT
|
65303.78
|
62581.47
|
48.46
|
47.96
|
316478.37
|
300142.22
|
MALUKU
|
29052.14
|
25976.85
|
40.01
|
37.82
|
116228.86
|
98254.75
|
MALUKU
UTARA
|
13412.75
|
11700.5
|
36.57
|
32.43
|
49047.11
|
37945.64
|
PAPUA
BARAT
|
7767.01
|
7192.15
|
32.15
|
41.63
|
24967.13
|
29943.56
|
PAPUA
|
52411.95
|
54131.72
|
42.57
|
43.48
|
223119.42
|
235339.51
|
INDONESIA
|
11.377.934.44
|
10.677.887.2
|
52.03
|
51.14
|
59.200.533.72
|
54.604.033.34
|
Sumber:
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia
Ini lah ironisnya Negeri ini, negeri yang
didaulat sebagai negeri Agraris, tapi menjerit di tanahnya sendiri. Penghargaan
Swasembada pangan pada tahun 1985 oleh FAO dengan produksi pangan utama padi
25,8 ton pada saat itu, hari ini menjadi tidak berarti. Faktanya seiring
meningkatnya populasi manusia, dari tahun ke tahun ketersediaan pangan nasional
terus mengalami kekurangan, bahkan tingkat kekurangan pangan Indonesia mengarah
pada goncangan “krisis pangan”; sebuah kondisi yang menggambarkan stok pangan
yang makin berkurang dan harga makin naik.
Kondisi tersebut makin diperparah,
akibat Lockdown dan pembatasan ekspor negara penghasil pangan. Saat ini
negara seperti Vietnam dan India memilih mengamankan cadangan pangan dalam
negeri. Padahal selama ini sebanyak 30 % komoditas beras impor Indonesia
dipasok Vietnam. Sementara India mengirimkan bawang merah, putih, dan juga
gula.15
Dari pemaparan diatas, seharusnya ini menjadi
tanggungjawab bersama, khususnya pemerintah selaku lembaga eksekutif tentang
pentingnya untuk mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan, utamanya pada
beras yang masih merupakan kebutuhan pokok mayoritas masyarakat dengan mempertimbangkan
aspek sistem pangan dan ketahanan pangan seperti yang dimaksud dalam UU No. 7
tahun 1996, dan mempertimbangkan aspek lingkungan, serta kesejateraan petani. Jangan
sampai terjadinya kelangkahan beras atau pangan yang lain, karena akan
mempengaruhi pada kenaikan harga barang di masyarakat.
Jika itu terjadi dan dihadapkan pada kondisi
ekonomi masyarakat yang hari ini terjebak dalam jurang kemiskinan, ini bisa
memicu terlahirnya konflik sektoral di masyarakat. Mengingat, akibat Covid 19,
angka kemiskinan di Indonesia makin bertambah. Banyak perusahan-perusahan industri
yang tidak mampu bertahan dan gulung tikar, akhirnya jutaan kaum buruh di PHK
dan pendapatan/pemasukan masyarakat dalam berbagai bidang pun menurun. Angka kemiskinan
yang sebelumnya bisa ditekan, diperhitungkan mengalami kenaikan yang begitu signifikan
di Indonesia. Pada maret 2012 terdapat 29,26 juta penduduk miskin yang setara
11,96 % dari total penduduk dan mengalami penurunan secara perlahan dan tahun
2019 turun menjadi 25,14 juta penduduk atau 9,41 % dari total penduduk. Sekarang
dilanda covid 19 selama 1,5 bulan telah ada lonjakan 2 juta pengangguran.
Menurut Akhmad Akbar Sutanto dari Ekonom Center
of Reform on Ekonomics (CORE), jumlah penduduk miskin akan bertambah 5,1 – 12,3
juta orang miskin pada quartal 2 2020 yang terbagi menjadi tiga scenario. Per maret
kemiskinan mencapai 25,1 juta orang atau 9,4 & dari total penduduk. Lalu jumlah
penduduk hampir miskin mencapai 66,7 juta jiwa atau 25 % dari total penduduk. Jika
skenario berat terjadi maka jumlah penduduk miskin di bawah garis kemiskinan
menjadi 30,8 juta orang (11,7 %). Skenario sangat berat maka penduduk miskin
bertambah 12,2 juta orang dan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan menjadi
37,9 juta orang (14,35 %) dari total penduduk.16
Dalam kasus covid 19, ini harus menjadi pelajaran
bagi Indonesia untuk menjamin ketersediaan pangan dan harga di tengah-tengah
wabah covid 19, jangan sampai memicu lahirnya gelombang konflik di Indonesia. Selain
itu, untuk mengantisipasi krisis pangan akibat covid 19, walaupun Presiden kita
telah menghimbau BUMN untuk membuka lahan baru sebagai upaya memenuhi kebutuhan
pangan nasional17, namun tidak ada jaminan untuk mampu keluar dari
krisis pangan yang terjadi nanti. Maka dari itu, selaku masyarakat, mari untuk
hari ini tidak hanya mengandalkan beras sebagai konsumsi utama, dan mari manfaatkan
lahan-lahan kosong di sekitar rumah dengan tanaman yang bisa dijadikan sebagai
sumber utama makan pokok, seperti jagung, ubi-ubian, kacang tanah, kedelai,
kacang ijo, atau tanaman pangan utama lainnya yang mempunyai waktu produksi
yang sangat singkat.
Semoga dengan adanya tulisan ini mampu memberikan
sedikit perubahan bagi bangsa ini kedepannya dalam mewujudkan kedaulatan pangan
dan kesejahteraan rakyat. Tak ada gading yang tak retak. Begitupun dalam
tulisan ini yang tak sempurna dalam mengisi kehausan nalar intelektual pembaca.
Wallahualam bis Shawab
#DaulatPangan #LawanCovid19 #RakyatBantuRakyat #BersamaKitaBisa
Referensi
Website:
1 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51850113
(diakses pada 2 Mei 2020, Pukul: 03.27 WIB)
2 https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/03/25/mitigasi-ancaman-krisis-ekonomi-covid-19/
(diakses pada 2 Mei 2020, Pukul 06.27)
3 https://www.cnbcindonesia.com/news/20200501104434-4-155688/terjangkit-corona-ekonomi-negara-g-20-luluh-lantak
(diakses pada 2 Mei 2020, Pukul: 05.40 WIB)
4 https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200429065942-532-498283/jurus-ri-kabur-dari-ancaman-krisis-pangan
(diakses pada 2 Mei 2020, Pukul: 05.14 WIB)
5 https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4999242/saat-jokowi-akui-stok-pangan-defisit
(diakses pada 2 Mei 2020, Pukul: 23.00 WIB)
6 Subejo, DKK,
Lima Pilar Kedaulatan Pangan Nusantara, Yogyakarta: Gadja Mada
University Press
7 Sulfitri Hs
Mudrieq, Problematika Krisis Pangan Dunia Dan Dampaknya Bagi Indonesia,
JURNAL ACADEMICA, Fisip Untad , VOL.06, No. 02 Oktober 2014
8 Bio-Fuel
adalah setiap bahan bakar baik padatan, cair, ataupun gas yang dihasilkan dari
bahan-bahan organic. Bio-fuel dapat dihasilkan secara langsung dari limbah
industry, komersial, domestic atau pertanian.
9 Bappenas, Krisis Pangan Dunia Yang Berlanjut dan Implikasi
Bagi Kebijakan Beras Indonesia
10 https://kolom.tempo.co/read/1336692/urgensi-kedaulatan-pangan/full&view=ok
(diakses pada 7 Mei 2020, Pukul: 02.28 WIB)
11 https://www.its.ac.id/news/2011/10/15/krisis-pangan-dan-upaya-menuju-kemandirian-pangan/
(diakses pada 2 Mei 2020, Pukul: 02.34 WIB)
12 BPS, Luas
Panen dan Produksi Padi Di Indonesia 2019
13 https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/24/berapa-impor-beras-2018#
(diakses pada 6 Mei 2020, Pukul: 02.48 WIB)
14 https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/02/04/setiap-tahun-indonesia-impor-beras-dari-thailand
(diakses pada 5 Mei, Pukul: 08.09)
16 https://tirto.id/tren-penurunan-kemiskinan-10-tahun-berbalik-arah-akibat-covid-19-flvH
(diakses pada 7 Mei 2020, pukul: 06.18 WIB)
17 https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200428153728-532-498111/ancaman-krisis-pangan-jokowi-minta-bumn-buka-sawah-baru
(diakses pada 7 Mei 2020, Pukul: 02.13 WIB)
Buku:
- Ika, Syahrir, 2013, Waspada
Krisis Pangan, dalam Majalah Tempo, Jakarta: Pusat Pengolahan Risiko
Fiskal
- Irianto, Gatot, 2006, Lahan
Dan Kedaulatan Pangan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
- Ir. Purwono dan Ir. Heni
Purnawati, M.Sc.Agr., 2007, Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Uggul,
Depok: Penebar Swdaya, Cet. II
- Rahman, Syamsul, 2018, Membangun
Pertanian Dan Pangan Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Yogyakarta:
CV Budi Utama, Cet. I
- Subejo, Dkk, Lima Pilar
Kedaulatan Pangan, Yogyakarta: Gadja Mada University Press,
- Sunarmoto, Bambnag Hendro, 2015,
Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan, Yogyakarta:
Gadja Mada University Press, Cet. II
Komentar
Posting Komentar