Indonesia Dalam Bahaya Covid 19, Krisis Pangan, dan Ancaman Konflik Sektoral


Indonesia Dalam Bahaya Covid 19, Krisis Pangan, dan Ancaman Konflik Sektoral
Oleh: Muhammad Andi Purbaya



Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh
Seumpama bunga

Kami adalah yang tak kau hendaki adanya

Kau lebih suka membangun rumah, merampas tanah
Kau lebih suka membangun jalan raya, membangun pagar besi … (Lirik Bunga dan Tembok: Fajar Merah)
______________________________________________________________________

Pada beberapa bulan terkahir ini, dunia dihadapkan pada sebuah ancaman dari makhluk tak kasat mata, yang disebut dengan Corona Virus (Covid 19). Virus ganas yang tiba-tiba hadir dan telah membunuh ribuan manusia di berbagai belahan bumi ini. Dari kasus covid 19 berdasarkan data BBC Indonesia, pada tanggal 1 mei, jumlah kasus secara global sudah mencapai 3,2 juta orang lebih pasien dan lebih dari 230.000 orang yang telah meninggal dunia. Dan di Indonesia, jumlah kasus covid 19 mencapai 10.551 pasien, 1.591 sembuh, dan 800 meninggal dunia.1

Dari data angka penyebaran dan kematian di atas yang begitu signifikan, virus yang sebelumnya dianggap remeh oleh mayoritas masyarakat global ini, telah membawa ketakutan yang luar biasa bagi  berbagai negara untuk kemudian memberlakukan Social Distancing dan Lockdown sebagai upaya keluar dari gelombang maut covid 19 yang terus menghantui. Kota-kota yang sebelumnya terlihat padat oleh aktivitas manusia, tiba-tiba hanya meninggalkan pemandangan bangunan dan jalan-jalan kosong semata, layaknya kota mati tanpa tanda-tanda peradaban. Akibatnya, ekonomi yang mejadi penopang hidup pun terganggu dan negara-negara belahan dunia ditarik secara paksa masuk berada dalam bayang-bayang resesi ekonomi global, sebagaimana yang dilansir oleh Dana Moneter International (IMF), pandemic covid 19 bisa sampai mengakibatkan resesi global 2020 yang lebih buruk dari krisis keuangan global pada tahun 2008.2 Negara-negara anggota G-20 seperti AS, Italia, Spanyol, Perancis, China, hingga Singapura yang menyumbang 80 % PDB (Produk Domestik Bruto) Global pun luluh lantak mengalami guncangan ekonomi yang begitu kuat akibat covid 19 ini.3

Tak berhenti disana, dampak dari covid 19 selain mengakibatkan kematian dan krisis ekonomi, namun hal yang paling penting adalah mengancam terjadinya krisis pangan global akibat pemberlakuan Lockdown oleh berbagai negara. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah memperingatkan kepada dunia akan potensi kelangkaan dan darurat pangan di tengah pandemic Corona Virus (Covid-19). Sebab, kebijakan penguncian (lockdown) di sejumlah negara yang membuat distribusi pangan internasional menjadi terganggu.4 Dan inilah yang benar-benar sedang dialami oleh Indonesia.

Di Indonesia, ketersediaan pangan sudah menjadi masalah utama pada tahun-tahun sebelumnya, dan sekarang ditambah implikasi serius dari pemberlakuan Lockdown yang makin memperburuk ketersediaan pangan nasional dan berada dalam jurang kekhawatiran (defisit). Menurut laporan yang diterima oleh Jokowi, sederet bahan pangan masih defisit di beberapa provinsi. Contohnya stok beras di 7 provinsi defisit. Lalu stok jagung terjadi defisit di 11 provinsi, stok cabai besar defisit di 23 provinsi, stok cabai rawit defisit di 19 provinsi, stok bawang merah diperkirakan juga defisit di satu provinsi dan stok telur ayam defisit di 22 provinsi.5

Berdasarkan data diatas, lantas menimbulkan pertanyaan, Indonesia yang merupakan negeri agraris yang semestinya kaya akan produksi pangan, khususnya beras, mengapa harus impor dan mengalami defisit? yang nanti akan berdampak pada kelangkahan barang dan kenaikan harga? Ada apa? untuk membahasnya lebih jauh, saya ingin mengajak para pembaca untuk membuka kantung pemikiran sejenak dalam melihat terlebih dahulu realitas krisis pangan dunia dan akibatnya hari ini, serta pentingnya ketersediaan dan kedaultan pangan bagi Indonesia, sehingga bisa dijadikan referensi dalam menentukan langkah-langkah strategis kedepannya.


Krisis Pangan Dunia, Kemiskinan, dan Konflik Sektoral

Sejarah dan pengalaman panjang serta berbagai fakta telah menunjukan bahwa gelombang krisis pangan dan bahaya kelaparan senantiasa membayangi masyarakat dunia dari waktu ke waktu. Ledakan jumlah penduduk semakin memicu meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat dunia. Problematika kegagalan produksi pangan akibat perubahan iklim global dan masih relative rendahnya komitmen pemerintah dalam investasi, produksi, dan distribusi menjadi kendala dalam memenuhi kebutuhan pangan. Lebih dari itu, lemahnya pengembangan kapasitas pelaku produksi pangan telah menyebabkan kestabilan jaminan atas ketersediaan pangan bagi masyarakat

Terkait krisis pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat bahwa jumlah kasus kekurangan pangan dan kelaparan sepanjang tahun 2009 paling tinggi sejak tahun 1970-an. Situasi untuk tahun-tahun selanjutnya tampaknya tidak jauh berubah. Diperkirkan setidaknya 1,02 miliar jiwa dan seluruh dunia mengalami kekurangan pangan dan kelaparan.

Beberapa kali diselanggarakannya perhelatan The World Summit on Food Security atas prakarsa FAO yang berupaya mencari solusi krisis pangan dunia, belum banyak kemajuan nyata yang dicapai. Masih sulit untuk merumuskan kesepakatan dan komitmen kuat bagi bantuan internasional, baik negara-negara maju maupun lembaga internasional untuk menanggulangi krisis pangan dunia.6 

Menurut UN Population Fund (2000) memprediksi pada tahun 2050 nanti, akan ada tambahan sekitar 2,32 milyar jiwa yang tersebar di seluruh duia yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya di bawah tekanan ancaman perubahan iklim yang semakin berat. Jumlah ini akan terus meningka dari tahun ke tahun. Sementara lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang ada bukan bertambah melainkan terus berkurang karena terjadinya alih fungsi lahan yang menjadi infrastruktur perumahan, industry. Jalan, dan lainnya.7

Gentingnya krisis pangan dunia ini telah banyak disuarakan oleh berbagai tokoh dunia. maka pada awal bulan April 2008 dalam Spring Meeting IMF-World Bank, Robert Zoellick sebagai Kepala Bank Dunia, memperingatkan bahwa sekitar 100 juta orang yang saat ini sudah miskin akan menjadi bertambah miskin karena melonjaknya harga pangan dunia. Atas dasar peringatan Zoellick ini, Bank Dunia, melalui steering committeenya yang terdiri dari para menteri keuangan dan pembangunan dunia, telah meluncurkan suatu program mengatasi krisis “New Deal” untuk mendorong peningkatan produksi pertanian dalam jangka panjang. Selain itu, Kepala IMF, Dominique Strauss Kahn, memperingatkan bahwa nanti dunia akan dilanda kelaparan masal jika harga pangan terus meningkat. Kahn juga menunjukan pada pengalaman historis masa lalu, ketika setiap krisis pangan telah mengakibatkan terjadinya pertikaian sosial dan bahkan peperangan. Keprihatinan Kahn didasari atas petimbangan bahwa sekitar 60 % dari belanja rumah tangga penduduk pendapatan rendah terdiri dari pengeluaran untuk pangan. Kepala IMF ini melanjutkan bahwa krisis pangan juga akan berakibat pada terjadinya kesenjangan perdagangan antar-negara yang tidak hanya terbatas pada negara-negara yang sedang dalam proses pembangunan, tetapi juga akan mempengaruhi negara-negara yang telah maju. Bahkan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, telah menyelenggarakan pertemuan para pakar dalam bidang pangan untuk menyarankan cara-cara alternatif untuk mengatasi terjadinya krisis pangan. Gordon Brown mengatakan bahwa Inggris akan menyediakan tambahan dana bantuan sebesar USD 900 juta dolar dan menyatakan bahwa Inggris akan meninjau kembali kebijakan penggunaan pangan untuk menghasilkan bio-fuel.8 Brown melanjutkan bahwa kenaikan harga pangan ini telah mengancam kesejahteraan dunia dan bahwa krisis pangan ini akan mementahkan hasil-hasil yang selama ini telah dicapai oleh usaha untuk mengurangi tingkat kemiskinan penduduk dunia. Pada pertemuan tahunan ADB di Madrid hari Minggu tanggal 4 Mei, 2008, Menteri Keuangan Jepang, Fukushiro Nukaga mengatakan bahwa melonjaknya harga pangan akan menciptakan kerusuhan sosial di antara penduduk miskin dunia.9

Ada beberapa hal yang pernah terjadi ketika dunia dilanda oleh krisis pangan, pada tahun 2008 misalnya, bagaimana krisis pangan telah memantik terjadinya kekerasan di Pantai Gading, 24 orang mati dalam huru-hara di Kamerun dan jatuhnya pemerintah Haiti. Krisis pangan di 2011 menciptakan revolusi politik di tanah Jazirah Arab. Rezim Ben Ali di Tunisia, Husni Mubarak di Mesir, dan Qadhafi di Libya. Negara-negara tersebut jatuh karena menggantungkan 90 % kebutuhan pangan mereka pada negara importir.10 

Sedangkan untuk konteks Indonesia sendiri, sebagai salah satu dari 7 negara penyumbang kelaparan terbanyak di dunia telah dikategorikan ke dalam kategori serius dalam Global Hunger Index. Tentu saja angka kelaparan yang tinggi tersebut juga disebabkan oleh tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 mencatat angka kemiskinan di Indonesia mencapai lebih dari 31 juta orang. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat pada tahun 2012 akibat krisis keuangan dunia. Tingginya angka kemiskinan berbanding lurus dengan potensi orang kelaparan karena seseorang menderita kelaparan tentu disebabkan karena faktor kemiskinan.11 Minimnya ketersediaan pangan dan tingginya angka kemiskinan, ini akan membuat kelaparan yang berimplikasi pada konflik sektoral. Karena deficit akan berakibat pada kelangkahan barang dan meningkatnya harga, yang kemudian membuat masyarakat miskin sulit untuk menggapai barang tersebut.


Krisis Pangan Di Indonesia

Bonus sumber daya alam merupakan julukan yang pantas  bagi Indonesia, setidaknya dalam hal pertanian dan pangan. Negeri ini memiliki darat yng cukup luas (1.919.443 km2), dan lautan (3.257.357 km2). Negeri ini juga dikaruniai iklim tropis karena dilalui garis khatulistiwa sehingga memiliki dua musim, kemarau dan penghujan. Matahari menyinari selama 12 jam sehari yang memungkinkan flora dan fauna dpat tumbuh dengan baik. Suhu sekiatar 26,3 sampai 32 derajat celcius. Dalam rentang suhu seperti ini memungkinkan padi, kopi, jagung tebu, kelapa coklat, karet, dan kina dapat tumbuh dengan baik. Beberapa wilayah memiliki curah hujan yang rendah, sangat cocok untuk pengembangan usaha ternak (sapi, kambing, domba, ayam dll). Iklim tropis membuat tanah menjadi subur sehingga dapat dimanfaatkan untuk menanam hehijauan dan umbi-umbian yang diperlukan untuk bahan pakan ternak. Iklim tropis juga cocok untuk budidaya hortikultura atau tanaman kebun, yang mencakup tanaman buah (frukultura), bunga (florikultura), sayuran (olerikultura), dan obat-obatan (biofarmaka).

Dengan potensi alam yang begitu melimpah ruah di tanah ini, semestinya Indonesia mengalami surplus pangan, dan bisa menjadi stok pangan dunia (feed the world). Sebaliknya, seiring makin meningkatnya populasi masyarakat di Indonesia, beras yang ‘masih’ menjadi lumbung utama konsumsi negeri ini karena mempunyai karbohidrat yang tinggi dan dapat bertahan lama dibandingkan dengan yang lain, dari tahun ke tahun produksinya mengalami penurunan. Disamping berbagai faktor yang mempengaruhi produksi padi di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas padi Indonesia dalam 2 tahun terakhir mengalami penurunan. Luas panen Indonesia dari 11,3 juta menjadi 10,6 juta, dan produksi 52 H turun menjadi 51 H. Sedangkan untuk produksi padi dari 59,2 Ton turun menjadi 54,6 Ton. Jika produksi padi dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi padi pada 2018 setara dengan 33,94 juta ton beras. Sementara itu, produksi pada 2019 sebesar 31,31 juta ton beras, atau mengalami penurunan sebesar 2,63 juta ton (7,75 persen) dibandingkan dengan produksi tahun 2018. Alternative untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan menjaga kelangkahan barang yang berdampak pada kenaikan harga, Indonesia mengambil kebijakan impor.12 Adapun negara-negara importir beras untuk Indonesia adalah  Thailand, Vietnam, Tiongkok, India, Pakistan, dll.

Volume impor beras Indonesia periode Januari-November 2018 seberat 2,2 juta ton melonjak dibanding periode Januari-Desember 2017 yang hanya mencapai 305,75 ribu ton. Demikian pula nilai impor beras dalam 11 bulan pertama tahun lalu meningkat menjadi US$ 1,02 miliar dibanding sepanjang 2017 yang hanya sebesar US$ 143,65 juta.13 Masih berdasarkan data dari BPS, Badan Pusat Statistik mencatat, impor beras Indonesia dari Negeri Gajah Putih Thailand periode Januari-Oktober 2018 mencapai 780 ribu ton dengan nilai US$ 377,75 juta.14

Tabel Impor Beras Menurut Negara Asal Utama Pada 5 Tahun Terakhir
Sumber: BPS
Negara Asal
2015
2016
2017
2018
2019
Vietnam
 509 374.2
 535 577.0
 16 599.9
 767 180.9
 33 133.1
Thailand
 126 745.7
 557 890.0
 108 944.8
 795 600.1
 53 278.0
Tiongkok1
  479.9
 1 271.9
 2 419.0
  227.7
  24.3
India
 34 167.5
 36 142.0
 32 209.7
 337 999.0
 7 973.3
Pakistan
 180 099.5
 134 832.5
 87 500.0
 310 990.1
 182 564.9
Amerika Serikat
  0.0
  0.0
  0.0
  0.0
  740.9
Taiwan





Singapura





Myanmar
 8 775.0
 16 650.0
 57 475.0
 41 820.0
 166 700.6
Lainnya
 1 959.2
  815.1
  126.2
  6.7
  93.7
Jumlah
 861. 601,0
1. 283.178,5
 305. 274,6
2. 253. 824,5
 444. 508,8

Indonesia yang telah memiliki undang-undang (UU) tentang Pangan, yaitu UU No. 7 tahun 1996 dan direvisi menjadi UU No.18 tahun 2012, yang mengarahkan Indonesia untuk mengurangi impor pangan nasional atau meningkatkan kemandirian dan kedaulatan pangan, tetapi faktanya hingga saat ini misi dalam UU tersebut, sulit terwujudkan. UU Agraria 1960 untuk menjamin kedaulatan dan kesejahteraan petani untuk mengelola lahan pertanian, malah tidak ditegakan. Yang terjadi, petani semakin lemah dan malah sering terjadinya konflik lahan dengan masyarakat (termasuk kasus-kasus konversi lahan sawah atau alih fungsi lahan) menjadi perumahan, industri, tol, bandara, dan lain sebagainya. Pada tahun 2018, luas wilayah panen di Indonesia dari 11, 3 Juta Ha, berubah menjadi 10, 6 Juta Ha. 

Provinsi
Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Menurut Provinsi
Luas Panen (ha)
Produktivitas (ku/ha)
Produksi (ton)
2018
2019
2018
2019
2018
2019
ACEH
329515.78
310012.46
56.49
55.3
1861567.1
1714437.6
SUMATERA UTARA
408176.45
413141.24
51.65
50.32
2108284.72
2078901.59
SUMATERA BARAT
313050.82
311671.23
47.37
47.58
1483076.48
1482996.01
RIAU
71448.08
63142.04
37.28
36.56
266375.53
230873.97
JAMBI
86202.68
69536.06
44.44
44.57
383045.74
309932.68
SUMATERA SELATAN
581574.61
539316.52
51.48
48.27
2994191.84
2603396.24
BENGKULU
65891.16
64406.86
43.83
46.03
288810.52
296472.07
LAMPUNG
511940.93
464103.42
48.61
46.63
2488641.91
2164089.33
KEP. BANGKA BELITUNG
17233.59
17087.81
26.53
28.56
45724.69
48805.68
KEP. RIAU
375.87
356.27
29.19
32.3
1097
1150.8
DKI JAKARTA
673.37
622.59
72.76
53.96
4899.14
3359.31
JAWA BARAT
1707253.81
1578835.7
56.51
57.54
9647358.75
9084957.22
JAWA TENGAH
1821983.17
1678479.21
57.63
57.53
10499588.23
9655653.98
DI YOGYAKARTA
93956.45
111477.36
54.81
47.86
514935.49
533477.4
JAWA TIMUR
1751191.67
1702426.36
58.26
56.28
10203213.17
9580933.88
BANTEN
344836.06
303731.8
48.94
48.41
1687783.3
1470503.35
BALI
110978.37
95319.34
60.11
60.78
667069.06
579320.53
NUSA TENGGARA BARAT
289242.59
281666.04
50.49
49.78
1460338.81
1402182.39
NUSA TENGGARA TIMUR
218232.91
198867.41
41.24
40.82
899935.88
811724.18
KALIMANTAN BARAT
286476.03
290048.44
27.92
29.23
799715.21
847875.13
KALIMANTAN TENGAH
147571.69
146144.51
34.88
30.35
514769.05
443561.33
KALIMANTAN SELATAN
323091.21
356245.95
41.09
37.69
1327492.41
1342861.82
KALIMANTAN TIMUR
64961.16
69707.75
40.45
36.41
262773.88
253818.37
KALIMANTAN UTARA
13707
10294.7
32.88
32.4
45063.53
33357.19
SULAWESI UTARA
70352.62
62020.39
46.47
44.79
326929.74
277776.31
SULAWESI TENGAH
201279.24
186100.44
46.05
45.4
926978.66
844904.3
SULAWESI SELATAN
1185484.1
1010188.75
50.21
50.03
5952616.45
5054166.96
SULAWESI TENGGARA
136673.75
132343.86
39.43
39.27
538876.14
519706.93
GORONTALO
56631.64
49009.95
47.6
47.18
269540.4
231211.11
SULAWESI BARAT
65303.78
62581.47
48.46
47.96
316478.37
300142.22
MALUKU
29052.14
25976.85
40.01
37.82
116228.86
98254.75
MALUKU UTARA
13412.75
11700.5
36.57
32.43
49047.11
37945.64
PAPUA BARAT
7767.01
7192.15
32.15
41.63
24967.13
29943.56
PAPUA
52411.95
54131.72
42.57
43.48
223119.42
235339.51
INDONESIA
11.377.934.44
10.677.887.2
52.03
51.14
59.200.533.72
54.604.033.34
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia
Ini lah ironisnya Negeri ini, negeri yang didaulat sebagai negeri Agraris, tapi menjerit di tanahnya sendiri. Penghargaan Swasembada pangan pada tahun 1985 oleh FAO dengan produksi pangan utama padi 25,8 ton pada saat itu, hari ini menjadi tidak berarti. Faktanya seiring meningkatnya populasi manusia, dari tahun ke tahun ketersediaan pangan nasional terus mengalami kekurangan, bahkan tingkat kekurangan pangan Indonesia mengarah pada goncangan “krisis pangan”; sebuah kondisi yang menggambarkan stok pangan yang makin berkurang dan harga makin naik.

Kondisi tersebut makin diperparah, akibat Lockdown dan pembatasan ekspor negara penghasil pangan. Saat ini negara seperti Vietnam dan India memilih mengamankan cadangan pangan dalam negeri. Padahal selama ini sebanyak 30 % komoditas beras impor Indonesia dipasok Vietnam. Sementara India mengirimkan bawang merah, putih, dan juga gula.15

Dari pemaparan diatas, seharusnya ini menjadi tanggungjawab bersama, khususnya pemerintah selaku lembaga eksekutif tentang pentingnya untuk mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan, utamanya pada beras yang masih merupakan kebutuhan pokok mayoritas masyarakat dengan mempertimbangkan aspek sistem pangan dan ketahanan pangan seperti yang dimaksud dalam UU No. 7 tahun 1996, dan mempertimbangkan aspek lingkungan, serta kesejateraan petani. Jangan sampai terjadinya kelangkahan beras atau pangan yang lain, karena akan mempengaruhi pada kenaikan harga barang di masyarakat.
Jika itu terjadi dan dihadapkan pada kondisi ekonomi masyarakat yang hari ini terjebak dalam jurang kemiskinan, ini bisa memicu terlahirnya konflik sektoral di masyarakat. Mengingat, akibat Covid 19, angka kemiskinan di Indonesia makin bertambah. Banyak perusahan-perusahan industri yang tidak mampu bertahan dan gulung tikar, akhirnya jutaan kaum buruh di PHK dan pendapatan/pemasukan masyarakat dalam berbagai bidang pun menurun. Angka kemiskinan yang sebelumnya bisa ditekan, diperhitungkan mengalami kenaikan yang begitu signifikan di Indonesia. Pada maret 2012 terdapat 29,26 juta penduduk miskin yang setara 11,96 % dari total penduduk dan mengalami penurunan secara perlahan dan tahun 2019 turun menjadi 25,14 juta penduduk atau 9,41 % dari total penduduk. Sekarang dilanda covid 19 selama 1,5 bulan telah ada lonjakan 2 juta pengangguran.

Menurut Akhmad Akbar Sutanto dari Ekonom Center of Reform on Ekonomics (CORE), jumlah penduduk miskin akan bertambah 5,1 – 12,3 juta orang miskin pada quartal 2 2020 yang terbagi menjadi tiga scenario. Per maret kemiskinan mencapai 25,1 juta orang atau 9,4 & dari total penduduk. Lalu jumlah penduduk hampir miskin mencapai 66,7 juta jiwa atau 25 % dari total penduduk. Jika skenario berat terjadi maka jumlah penduduk miskin di bawah garis kemiskinan menjadi 30,8 juta orang (11,7 %). Skenario sangat berat maka penduduk miskin bertambah 12,2 juta orang dan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan menjadi 37,9 juta orang (14,35 %) dari total penduduk.16

Dalam kasus covid 19, ini harus menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk menjamin ketersediaan pangan dan harga di tengah-tengah wabah covid 19, jangan sampai memicu lahirnya gelombang konflik di Indonesia. Selain itu, untuk mengantisipasi krisis pangan akibat covid 19, walaupun Presiden kita telah menghimbau BUMN untuk membuka lahan baru sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan nasional17, namun tidak ada jaminan untuk mampu keluar dari krisis pangan yang terjadi nanti. Maka dari itu, selaku masyarakat, mari untuk hari ini tidak hanya mengandalkan beras sebagai konsumsi utama, dan mari manfaatkan lahan-lahan kosong di sekitar rumah dengan tanaman yang bisa dijadikan sebagai sumber utama makan pokok, seperti jagung, ubi-ubian, kacang tanah, kedelai, kacang ijo, atau tanaman pangan utama lainnya yang mempunyai waktu produksi yang sangat singkat.

Semoga dengan adanya tulisan ini mampu memberikan sedikit perubahan bagi bangsa ini kedepannya dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan rakyat. Tak ada gading yang tak retak. Begitupun dalam tulisan ini yang tak sempurna dalam mengisi kehausan nalar intelektual pembaca. Wallahualam bis Shawab

#DaulatPangan           #LawanCovid19           #RakyatBantuRakyat               #BersamaKitaBisa






Referensi
Website:
1 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51850113 (diakses pada 2 Mei 2020, Pukul: 03.27 WIB)
6 Subejo, DKK, Lima Pilar Kedaulatan Pangan Nusantara, Yogyakarta: Gadja Mada University Press
7 Sulfitri Hs Mudrieq, Problematika Krisis Pangan Dunia Dan Dampaknya Bagi Indonesia, JURNAL ACADEMICA, Fisip Untad , VOL.06, No. 02 Oktober 2014
8 Bio-Fuel adalah setiap bahan bakar baik padatan, cair, ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organic. Bio-fuel dapat dihasilkan secara langsung dari limbah industry, komersial, domestic atau pertanian.
Bappenas, Krisis  Pangan Dunia Yang Berlanjut dan Implikasi Bagi Kebijakan Beras Indonesia
12 BPS, Luas Panen dan Produksi Padi Di Indonesia 2019

Buku:
  • Ika, Syahrir, 2013, Waspada Krisis Pangan, dalam Majalah Tempo, Jakarta: Pusat Pengolahan Risiko Fiskal
  • Irianto, Gatot, 2006, Lahan Dan Kedaulatan Pangan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
  • Ir. Purwono dan Ir. Heni Purnawati, M.Sc.Agr., 2007, Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Uggul, Depok: Penebar Swdaya, Cet. II
  • Rahman, Syamsul, 2018, Membangun Pertanian Dan Pangan Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Yogyakarta: CV Budi Utama, Cet. I
  • Subejo, Dkk, Lima Pilar Kedaulatan Pangan, Yogyakarta: Gadja Mada University Press,
  • Sunarmoto, Bambnag Hendro, 2015, Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan, Yogyakarta: Gadja Mada University Press, Cet. II


Komentar

Postingan Populer